Rasa
sakit itu belum terobati sampai kini. Guratan luka itu masih ada. Membekas. Di
lubuk hati yang paling dalam.
Kamu.
Entah mengapa hingga kini. Aku masih saja tetap menanti.
Menunggu.
Aku benci dengan kata itu. Aku benci menunggu. Bagiku, menunggu adalah kegiatan
yang sangatlah menyebalkan dan membosankan.
Tetapi
sepertinya itu tak berlaku untukmu. Aku tetap setia menunggumu. Menanti cintamu
kembali padaku.
Dulu,
sekarang, hingga nanti atau entah sampai kapan. Aku selalu ingin dan ingin
menghapus luka itu. Terutama, aku ingin sekali menghapus bayangmu yang masih
selalu terlihat dalam pikirku.
Kamu.
Bisakah aku melupakanmu? Bisakah kamu pergi dari hidupku? Bisakah aku tak
menantimu lagi?
Perih
menusuk kalbu. Menggores luka dalam hati. Tangis semakin menjadi. Kini, hanya
ada aku dan kamu. Bukan lagi kita.
***
Aku
masih mengurung diri di kamar. Bingung apa yang harus kulakukan. Semenjak
pulang dari sekolah, aku malas melakukan kegiatan apapun. Pikiranku masih
teringat padanya. Pada dirinya yang kucinta. Cinta pertama.
Putra.
Dia adalah kakak kelasku. Dia bukan ketua OSIS maupun kapten basket Hobinya
adalah membaca komik. Tak jarang aku bertemu dengannya di saat dia sedang
membaca komik. Entah itu dimana. Dan, aku mulai menyukainya sejak MOS atau Masa
Orientasi Siswa.
Dulu,
aku sering kena marah oleh seniorku karena aku yang selalu terlambat. Dan suatu
hari, aku datang ke sekolah di saat gerbang sekolah sudah tutup. Aku
merengek-rengek meminta agar satpam sekolah membukakan gerbang. Tetapi usahaku
tidak berhasil. Kemudian, kak Putra datang sebagai pahlawanku. Dia menyuruh
satpam untuk membukakan gerbang. Dan akhirnya aku bisa masuk ke sekolah.
Sejak
saat itulah, aku mulai menyukai kak Putra. Lama-kelamaan aku menjadi akrab
dengannya. Kenapa aku suka dengan kak Putra? Karena dia perhatian dan baik
sekali terhadapku. Aku sempat ge-er karena dia yang sangat perhatian denganku.
Tetapi sepertinya kak Putra hanya menganggapku sebagai adik. Karena dia sangat
ingin mempunyai adik perempuan.
Tak
ada yang tahu bahwa aku menyukai kak Putra kecuali hanya aku, Dira, dan Tuhan.
Aku berdoa, semoga rasa ini terbalaskan.
***
Teettt…
teettt…
Bel
istirahat berdering. Aku dan murid-murid lainnya segera membereskan buku-buku
dan peralatan lainnya. Tak peduli dengan guru yang masih saja berceramah di
depan kelas yang sangat membuat kami mengantuk.
“ke
perpus yuk,” ajak Dira, teman sebangkuku yang setia menjadi sahabatku di SMA
ini.
“novel
lagi deh,” ucapku menyindir Dira yang sangat hobi membaca novel. Bahkan ia
sangat ingin menjadi novelis. Aku pernah membaca cerpen-cerpen dan puisi-puisinya,
dan itu membuatku kagum olehnya. Ia bisa merangkai kata-kata dengan baik.
Kuharap sahabatku itu bisa meraih cita-citanya. Amin.
Dira
hanya senyum-senyum mendengar sindiranku. Aku dan dia pun bergegas ke
perpustakaan.
Sesampainya
di perpustakan, kulihat kak Putra sedang serius membaca buku yang cukup tebal.
Entah itu buku apa. Tetapi sepertinya itu bukan komik. Aku menatapnya sambil
pura-pura membuka-buka buku yang kuambil dari rak. Aku terus menatapnya hingga
aku tak menyadari bahwa Dira tak ada di sampingku.
Aku
mencari-cari Dira dari lorong ke lorong. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku.
Aku tersentak dan langsung memukuli bahu orang itu karena kukira orang itu
adalah Dira. Dan ternyata? Dia adalah kak Putra.
“ish,
kakak apa-apaan sih. Ngagetin aja!”
“hehe,
peace,” kak Putra cengar-cengir sambil membentuk jarinya menjadi huruf V.
“nyariin
apa sih?” tanyanya.
“Dira
kak. Dimana coba itu anak. Sengaja deh kayaknya.”
“oh,
gitu ya,” ujarnya sambil mengembalikan buku di rak.
“nanti
sore ada acara nggak? Nonton yuk. Pengen banget nih nonton film yang baru.
Apalagi sama kamu,” seketika aku menunduk. Aku tak ingin kak Putra melihat
mukaku yang memerah seperti kepiting rebus walaupun kulihat wajah kak Putra
tidak menggambarkan keseriusan.
Hari itu adalah hari yang menyenangkan bagiku.
Bisa berduaan dengan cowok yang kusukai. Tapi ada sedikit hal yang mengganjal.
Selesai menonton film, aku dan kak Putra berhenti di restoran untuk makan malam.
Tiba-tiba seorang cewek menyapa kak Putra. Dan mereka berdua pun
berbincang-bincang. Bahkan aku saja seperti tidak dianggap ada. Dan itu adalah
hal yang menyebalkan.
***
“Bungaaa!
Sini cepetan ikut aku!” entah apa yang terjadi, Dira tiba-tiba muncul dan
menarik tanganku. Padahal saat itu aku sedang makan sandwich bekalku. Baru saja kubuka tempatnya dan hampir saja sandwich kesukaanku itu masuk ke dalam
mulutku, dan mungkin aku harus menahan perutku lagi yang sedari tadi lapar.
“apaan
sih?!” tanyaku kesal terhadap Dira yang menarik-narik tanganku. Dia hanya diam
tak mengacuhkanku.
Akhirnya
Dira menghentikan langkah kakinya. Memandang lurus ke depan. Tepat di depan
kelas kak Putra. Aku mengernyitkan dahi melihat kerumunan orang-orang di
depanku dan Dira. Dira menarik napas lalu mengeluarkannya dengan keras.
Kemudian ia menerobos dalam kerumunan itu sembari menggandeng tanganku. Aku
diam saja mengikuti Dira.
Kutatap
apa yang sedang dilihat Dira. Dan apa yang kulihat? Dari dekat pintu aku
melihat kak Putra sedang membawa selembar kertas putih. Sepertinya ia sedang
membaca puisi. Di depannya, ada seseorang yang sedang duduk di meja paling
depan dekat dengan dimana kak Putra sekarang berdiri, ahh siapa nama dia? Aku
lupa. Biar kuingat-ingat dulu. Yup! Dia kak Mawar! Cewek yang menjadi primadona
sekolah karena kecantikan dan kepintarannya.
Apa
yang dilakukan kak Putra terhadap kak Mawar? Apakah…?!
Pikiranku
kalut. Melayang dimana-mana. Mencoba untuk menebak apa yang sebenarnya terjadi.
Semoga apa yang kupikirkan tidak benar adanya. Semoga saja…
Kemudian
aku menatap kak Putra yang mulai berlutut di hadapan kak Mawar.
“kamu
adalah sang mawar tanpa duri
Yang
telah memikat hati ini
Yang
menarik perhatianku di setiap langkahmu
Maukah
kau menjadi kekasihku?”
Deg!
Aku mengucek mata. Sekali lagi mengucek mata. Benarkah itu kak Putra?! Kak
Putra menembak kak Mawar yang sekelas dengannya? Ohh, this is my nightmare! Yes, I’m sure!
“Ra!
Tampar aku gih cepetan!” aku menyuruh Dira untuk memastikan bahwa ini memang
mimpi burukku.
Plakk!
“auww!
Sakit!” ucapku pada Dira sambil mengelus-elus pipi kiriku yang ditampar
olehnya.
“katanya
suruh nampar? Gimana sih?”
“ini
bukan mimpi, Bunga. Ini kenyataan. Udah deh sekarang nggak usah ngarepin dia
lagi. Dia itu cumin PHP alias Pemberi Harapan Palsu,” lanjut Dira.
Kedua
mataku menghangat. Sepertinya butiran-butiran bening akan jatuh mengguyur
pipiku. Aku tak ingin ada yang melihat aku menangis apalagi saat ini sedang
banyak orang.
Kulepas
genggaman tanganku dari Dira dan langsung berlari menuju toilet. Tak peduli
pada orang-orang yang menatapku dengan aneh.
Haruskah
aku berhenti sampai di sini? Sudah 2 tahun aku menanti, tetapi yang kudapat
malah sakit hati. Walau kau telah bersamanya. Tapi ku tak akan pernah lelah tuk
berhenti. Karena kuyakin suatu saat nanti, aku dan kamu akan menjadi satu. Aku
dan kamu akan menjadi kita. Entah kapan hal itu akan terjadi. Biarlah… biarlah
kutetap menanti.
0 komentar:
Posting Komentar