Jumat, 19 Oktober 2012

Biarlah Kutetap Menanti

Yang nulis namanya arifarahma pas jam 23.24
Rasa sakit itu belum terobati sampai kini. Guratan luka itu masih ada. Membekas. Di lubuk hati yang paling dalam.
Kamu. Entah mengapa hingga kini. Aku masih saja tetap menanti.
Menunggu. Aku benci dengan kata itu. Aku benci menunggu. Bagiku, menunggu adalah kegiatan yang sangatlah menyebalkan dan membosankan.
Tetapi sepertinya itu tak berlaku untukmu. Aku tetap setia menunggumu. Menanti cintamu kembali padaku.

Dulu, sekarang, hingga nanti atau entah sampai kapan. Aku selalu ingin dan ingin menghapus luka itu. Terutama, aku ingin sekali menghapus bayangmu yang masih selalu terlihat dalam pikirku.
Kamu. Bisakah aku melupakanmu? Bisakah kamu pergi dari hidupku? Bisakah aku tak menantimu lagi?
Perih menusuk kalbu. Menggores luka dalam hati. Tangis semakin menjadi. Kini, hanya ada aku dan kamu. Bukan lagi kita.
***
Aku masih mengurung diri di kamar. Bingung apa yang harus kulakukan. Semenjak pulang dari sekolah, aku malas melakukan kegiatan apapun. Pikiranku masih teringat padanya. Pada dirinya yang kucinta. Cinta pertama.
Putra. Dia adalah kakak kelasku. Dia bukan ketua OSIS maupun kapten basket Hobinya adalah membaca komik. Tak jarang aku bertemu dengannya di saat dia sedang membaca komik. Entah itu dimana. Dan, aku mulai menyukainya sejak MOS atau Masa Orientasi Siswa.
Dulu, aku sering kena marah oleh seniorku karena aku yang selalu terlambat. Dan suatu hari, aku datang ke sekolah di saat gerbang sekolah sudah tutup. Aku merengek-rengek meminta agar satpam sekolah membukakan gerbang. Tetapi usahaku tidak berhasil. Kemudian, kak Putra datang sebagai pahlawanku. Dia menyuruh satpam untuk membukakan gerbang. Dan akhirnya aku bisa masuk ke sekolah.
Sejak saat itulah, aku mulai menyukai kak Putra. Lama-kelamaan aku menjadi akrab dengannya. Kenapa aku suka dengan kak Putra? Karena dia perhatian dan baik sekali terhadapku. Aku sempat ge-er karena dia yang sangat perhatian denganku. Tetapi sepertinya kak Putra hanya menganggapku sebagai adik. Karena dia sangat ingin mempunyai adik perempuan.
Tak ada yang tahu bahwa aku menyukai kak Putra kecuali hanya aku, Dira, dan Tuhan. Aku berdoa, semoga rasa ini terbalaskan.
***
Teettt… teettt…
Bel istirahat berdering. Aku dan murid-murid lainnya segera membereskan buku-buku dan peralatan lainnya. Tak peduli dengan guru yang masih saja berceramah di depan kelas yang sangat membuat kami mengantuk.
“ke perpus yuk,” ajak Dira, teman sebangkuku yang setia menjadi sahabatku di SMA ini.
“novel lagi deh,” ucapku menyindir Dira yang sangat hobi membaca novel. Bahkan ia sangat ingin menjadi novelis. Aku pernah membaca cerpen-cerpen dan puisi-puisinya, dan itu membuatku kagum olehnya. Ia bisa merangkai kata-kata dengan baik. Kuharap sahabatku itu bisa meraih cita-citanya. Amin.
Dira hanya senyum-senyum mendengar sindiranku. Aku dan dia pun bergegas ke perpustakaan.
Sesampainya di perpustakan, kulihat kak Putra sedang serius membaca buku yang cukup tebal. Entah itu buku apa. Tetapi sepertinya itu bukan komik. Aku menatapnya sambil pura-pura membuka-buka buku yang kuambil dari rak. Aku terus menatapnya hingga aku tak menyadari bahwa Dira tak ada di sampingku.
Aku mencari-cari Dira dari lorong ke lorong. Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku. Aku tersentak dan langsung memukuli bahu orang itu karena kukira orang itu adalah Dira. Dan ternyata? Dia adalah kak Putra.
“ish, kakak apa-apaan sih. Ngagetin aja!”
“hehe, peace,” kak Putra cengar-cengir sambil membentuk jarinya menjadi huruf V.
“nyariin apa sih?” tanyanya.
“Dira kak. Dimana coba itu anak. Sengaja deh kayaknya.”
“oh, gitu ya,” ujarnya sambil mengembalikan buku di rak.
“nanti sore ada acara nggak? Nonton yuk. Pengen banget nih nonton film yang baru. Apalagi sama kamu,” seketika aku menunduk. Aku tak ingin kak Putra melihat mukaku yang memerah seperti kepiting rebus walaupun kulihat wajah kak Putra tidak menggambarkan keseriusan.
 Hari itu adalah hari yang menyenangkan bagiku. Bisa berduaan dengan cowok yang kusukai. Tapi ada sedikit hal yang mengganjal. Selesai menonton film, aku dan kak Putra berhenti di restoran untuk makan malam. Tiba-tiba seorang cewek menyapa kak Putra. Dan mereka berdua pun berbincang-bincang. Bahkan aku saja seperti tidak dianggap ada. Dan itu adalah hal yang menyebalkan.
***
“Bungaaa! Sini cepetan ikut aku!” entah apa yang terjadi, Dira tiba-tiba muncul dan menarik tanganku. Padahal saat itu aku sedang makan sandwich bekalku. Baru saja kubuka tempatnya dan hampir saja sandwich kesukaanku itu masuk ke dalam mulutku, dan mungkin aku harus menahan perutku lagi yang sedari tadi lapar.
“apaan sih?!” tanyaku kesal terhadap Dira yang menarik-narik tanganku. Dia hanya diam tak mengacuhkanku.
Akhirnya Dira menghentikan langkah kakinya. Memandang lurus ke depan. Tepat di depan kelas kak Putra. Aku mengernyitkan dahi melihat kerumunan orang-orang di depanku dan Dira. Dira menarik napas lalu mengeluarkannya dengan keras. Kemudian ia menerobos dalam kerumunan itu sembari menggandeng tanganku. Aku diam saja mengikuti Dira.
Kutatap apa yang sedang dilihat Dira. Dan apa yang kulihat? Dari dekat pintu aku melihat kak Putra sedang membawa selembar kertas putih. Sepertinya ia sedang membaca puisi. Di depannya, ada seseorang yang sedang duduk di meja paling depan dekat dengan dimana kak Putra sekarang berdiri, ahh siapa nama dia? Aku lupa. Biar kuingat-ingat dulu. Yup! Dia kak Mawar! Cewek yang menjadi primadona sekolah karena kecantikan dan kepintarannya.
Apa yang dilakukan kak Putra terhadap kak Mawar? Apakah…?!
Pikiranku kalut. Melayang dimana-mana. Mencoba untuk menebak apa yang sebenarnya terjadi. Semoga apa yang kupikirkan tidak benar adanya. Semoga saja…
Kemudian aku menatap kak Putra yang mulai berlutut di hadapan kak Mawar.
“kamu adalah sang mawar tanpa duri
Yang telah memikat hati ini
Yang menarik perhatianku di setiap langkahmu
Maukah kau menjadi kekasihku?”
Deg! Aku mengucek mata. Sekali lagi mengucek mata. Benarkah itu kak Putra?! Kak Putra menembak kak Mawar yang sekelas dengannya? Ohh, this is my nightmare! Yes, I’m sure!
“Ra! Tampar aku gih cepetan!” aku menyuruh Dira untuk memastikan bahwa ini memang mimpi burukku.
Plakk!
“auww! Sakit!” ucapku pada Dira sambil mengelus-elus pipi kiriku yang ditampar olehnya.
“katanya suruh nampar? Gimana sih?”
“ini bukan mimpi, Bunga. Ini kenyataan. Udah deh sekarang nggak usah ngarepin dia lagi. Dia itu cumin PHP alias Pemberi Harapan Palsu,” lanjut Dira.
Kedua mataku menghangat. Sepertinya butiran-butiran bening akan jatuh mengguyur pipiku. Aku tak ingin ada yang melihat aku menangis apalagi saat ini sedang banyak orang.
Kulepas genggaman tanganku dari Dira dan langsung berlari menuju toilet. Tak peduli pada orang-orang yang menatapku dengan aneh.
Haruskah aku berhenti sampai di sini? Sudah 2 tahun aku menanti, tetapi yang kudapat malah sakit hati. Walau kau telah bersamanya. Tapi ku tak akan pernah lelah tuk berhenti. Karena kuyakin suatu saat nanti, aku dan kamu akan menjadi satu. Aku dan kamu akan menjadi kita. Entah kapan hal itu akan terjadi. Biarlah… biarlah kutetap menanti.

0 komentar:

Posting Komentar

 

My Notes Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea