Pagi ini, langit terlihat cerah. Secerah hatiku saat ini. Kemarin malam, sahabatku mengabarkan bahwa dia akan pulang ke Indonesia. Sebut saja dia Shilla, Ashilla Zahrantiara. Dia adalah salah satu mahasiswi di Indonesia yang mendapat beasiswa ke Inggris karena kepintarannya. Kita sudah bersahabat sejak lama, dan sudah beberapa tahun kita sudah tidak bertemu karena terpisahkan oleh jarak. Walau begitu, komunikasi kita tak pernah putus.
Oh iya, aku akan memperkenalkan diriku. Namaku Alyssa Saufika. Tetapi sering dipanggil Ify. Entah kenapa aku bisa dipanggil Ify sejak kecil. Kata orang, aku cantik apalagi ditambah dengan dagu runcingku, hehe. Aku tidak seperti Shilla yang pintar dalam berbagai ilmu pengetahuan. Tetapi aku lebih fokus terhadap dunia musik. Sudah banyak prestasi yang sudah aku raih. Dan yang paling banyak adalah memenangkan berbagai lomba piano.
Hari ini aku akan ikut menjemput Shilla di Bandara Adisutjipto . Sesampainya di Bandara, aku bertemu dengan keluarga Shilla. Kita menunggu tidak terlalu lama, dan akhirnya pesawat yang ditumpangi oleh Shilla mendarat. Aku melihat Shilla keluar dari pesawat, dia gembira dan aku memeluknya.
Padahal dulu aku sering bertengkar dengan Shilla. Malah pernah aku sampai dimusuhinya karena kita merebutkan salah satu cowok di sekolah kita. Dulu aku sering sekali ingin berpisah saja dengan Shilla. Nah, sekarang ditinggal Shilla untuk beberapa tahun saja aku sudah merasa sepi. Habisnya Shilla cerewet sih jadinya kalau nggak ada dia sepi, hehe.
Aku ikut ke rumah Shilla. Dirumahnya, dia memberiku sebuah kotak berwarna merah muda. Dan kubuka kotak itu. Jreng..jreng.. ternyata dia memberiku sebuah sepatu kets berwarna biru muda yang adalah warna kesukaanku. Dia tau bahwa aku adalah cewek tomboy. Jika aku feminim sepertinya, mungkin dia akan memberiku perhiasan, pakaian atau high heels yang sangat mahal.
Kemudian kita mengobrol tentang semuanya. Dia juga bercerita banyak tentang pacarnya yang ada di Inggris. Wah, Shilla punya pacar bule. Aku sudah melihat foto pacar Shilla dari facebook dan ternyata dia keren dan ganteng. Ahh, iri deh.
Sebenarnya Shilla ingin pergi keliling Jogja bersamaku. Tetapi dia sedang kecapekan. Akhirnya Shilla memutuskan untuk pergi jogging bersamaku besok pagi. Aku pun pulang dengan membawa oleh-oleh dari Shilla.
***
Alarm membangunkanku. Aku menutup telingaku dengan bantal. Tetapi masih tidak mempan. Dan aku teringat bahwa hari ini aku ada janji untuk pergi jogging bersama Shilla. Aku langsung membuka mata lebar-lebar. Aku pun bangun dari tempat tidurku dan menuju wastafel untuk mencuci mukaku yang masih memejamkan mata karena masih mengantuk.
Udara cerah, secerah hatiku karena aku dapat bersama lagi dengan sahabatku yang sudah lama tidak bertemu.
Aku memakai kaos dan celana pendek. Tak lupa aku memakai sepatu kets yang dibelikan oleh Shilla. Aku juga memakai topi. Kesan tomboy semakin terlihat.
Aku keluar dari rumah dan sudah kudapati Shilla yang menungguku. Akhirnya kita jogging mengelilingi alun-alun. Setelah merasa capek, kita beristirahat di warung dekat alun-alun. Sebenarnya Shilla tidak mau makan di tempat yang baginya ‘menjijikan’ tetapi akhirnya aku berhasil membujuknya bahwa makanan di warung itu enak dan dijamin sehat karena aku sudah sering makan disitu.
Setelah selesai makan, aku dan Shilla mengelilingi alun-alun. Shilla malah asyik bermain hp sendiri. Aku yang merasa dicueki, ikut melihat layar hp Shilla. Aku merebut hp Shilla dan membawanya lari sambil menjulurkan lidahku.
“eciee yang smsan sama cowoknya. Eciee sahabatnya dicuekin gitu aja,” aku menyambar hp Shilla sambil berlari layaknya anak kecil. Orang-orang disekelilingku melihatku dengan tatapan aneh.
Aku yang tidak melihat kebelakang, menabrak anak kecil saat aku membalikkan badan. Anak laki-laki itu sedang membawa semangkok mie ayam yang hendak disuguhkan untuk pembelinya dan semangkok mie ayam yang dibawanya tumpah karenaku. Aku meminta maaf padanya. Sebenarnya aku ingin memarahinya. Bajuku kotor, tetapi itu semua juga salahku yang tidak lihat-lihat. Shilla menghampiriku.
Anak itu dimarahi oleh ibunya karena mangkoknya pecah. Lebih kejam, ibunya menamparnya. Aku tidak tega lalu membelakangi anak itu. Aku meminta maaf dengan ibunya dan memberinya sejumlah uang sebagai ganti mangkok yang pecah. Ibunya hanya melihatku lalu menarik baju anak itu. Ahh, aku benar-benar menyesal atas kecerobohanku.
Shilla mengajakku untuk pergi saja dari tempat itu. Tetapi aku tidak mau karena aku masih merasa bersalah dengan anak itu. Akhirnya Shilla pulang duluan, dan aku mengikuti anak itu pulang bersama ibunya setelah aku menunggu lama.
Tanpa diketahui anak itu dan ibunya, aku mengikuti mereka dari belakang. Entah kenapa aku mau mengikuti mereka. Seperti ada yang mendorongku untuk mengikuti mereka.
Akhirnya aku sampai dirumahnya. Kumuh dan sangat sederhana, hanya dari kardus yang disusun membentuk rumah. Lalu bagaimana jika hujan datang?
Aku melihat anak itu terus dimarahi oleh ibunya. Aku sangat tidak tega. Cuaca semakin panas dan akhirnya aku putuskan untuk pulang.
***
Paginya, aku kembali ke rumah kecil itu. Aku melihat anak itu sedang berlari keluar dari rumahnya sambil membawa sebuah buku. Aku mengikutinya. Ternyata anak itu hendak pergi ke sekolahnya. Mungkin ia takut jika dimarahi oleh ibunya.
Aku terus memantaunya. Entah kenapa aku mau terus-terusan mengikutinya. Padahal dia bukan siapa-siapaku. Hatiku yang terus mendesakku untuk terus mengikutinya.
Anak itu bernama Aldi. Dia berumur 10 tahun. Aldi mempunyai semangat belajar yang tinggi. Ada seseorang yang menyekolahkannya karena merasa iba. Sebenarnya ibunya tidak setuju. Akhirnya setelah dibujuk, ibu Aldi setuju jika anaknya disekolahkan. Tetapi ibu Aldi tidak begitu saja, dia selalu mencegah Aldi untuk berangkat ke sekolah. Untuk apa? Ibu Aldi mencegahnya karena dia mau anaknya membantunya saja untuk berdagang. Ayahnya sudah tiada, Aldi hanya hidup bersama Ibunya di sebuah perkampungan yang kumuh. Walau begitu, Aldi selalu menjalani hidupnya dengan senyumannya dan dia tidak pernah menangis.
Suatu hari, aku melihat Aldi kehujanan sepulang sekolah. Sesampainya di rumahnya, ia mendapat marah habis-habisan oleh ibunya. Aldi hampir pingsan dilihat dari wajahnya yang pucat.
Akhirnya aku datang dan memarahi ibu Aldi atas kekejamannya. Ibunya mengatakan bahwa aku bukan siapa-siapa dan aku tidak berhak ikut campur dalam urusannya. Memang, tapi aku peduli dengan Aldi. Aldi tidak salah apa-apa tetapi mengapa ibunya terus menyakitinya.
Aku mengajak Aldi untuk makan di restoran. Awalnya dia menolak karena merasa merepotkanku. Tetapi setelah kubujuk, akhirnya dia mau. Aku mengobrol dengannya,
“Aldi.. kakak boleh tanya?” aku tersenyum, dia mengangguk.
“kok ibu kamu sering marah-marahin kamu? Malah sering nyiksa kamu?” Aldi menunduk dan menangis. Baru kali ini aku melihatnya menangis. Padahal saat ibunya menyiksanya, dia sama sekali tak menangis. Malah aku sering melihatnya tersenyum, sekalipun ibunya sedang memarahinya. Dia yang kukenal, tegar.
“iya kak. Aldi juga nggak tau. Mungkin setelah ditinggal Ayah, Ibu jadi begitu.”
“kenapa kamu terus diem?”
“bagaimana pun, dia adalah Ibu Aldi. Ibu yang ngelahirin Aldi, Ibu yang ngerawat Aldi sampai saat ini. Terserah Ibu mau apakan Aldi, jika itu maunya, Aldi nggak bisa berbuat apa-apa lagi. Aldi cuma mau sekolah, tetapi kenapa Ibu nggak bolehin Aldi sekolah? Apa salah Aldi?” dadaku sesak mendengar ucapannya barusan.
“kamu yang sabar ya. Ada kebahagiaan kok dibalik ini semua. Udah jangan nangis. Kakak malu nih, ntar dikira ngapa-ngapain Aldi,” Aldi menghapus air mata yang sejak tadi mengguyur pipinya. Dia tersenyum dengan memamerkan lesung pipinya yang terlihat manis.
Aku dan Aldi menikmati makanan bersama. Aldi tampak lahap memakan makanan yang –mungkin- baru pertama kali dia makan. Aku merasa iba dengannya.
Setelah beberapa hari, ibu Aldi meninggal. Malang nasibnya, ditinggal oleh kedua orangtuanya. Apalagi dia adalah anak tunggal. Bagaimana dengan kehidupannya dikemudian hari? Dia akan tinggal bersama siapa?
***
Setelah menceritakan tentang kehidupan Aldi kepada Ayah dan Ibuku, mereka juga merasa iba dan ingin membantu Aldi. Aku kegirangan. Walaupun Ayah dan Ibu mungkin mengernyitkan dahi saat aku telah berubah seperti ini. Dulu, aku sering kasar dengan orangtuaku terutama Ibuku. Dan kini, aku sangat menyesal dengan semua yang telah kuperbuat. Aku hanya memikirkan diriku sendiri dan tidak memikirkan orang lain yang padahal sangat berharga bagiku.
Akhirnya Aldi diangkat oleh kedua orangtuaku menjadi adikku. Kini, Aldi Putra menjadi adik dari aku, Alyssa Saufika, walaupun hanya adik tiri. Aku sangat menyayanginya karena dialah yang menjadi motivator dalam hidupku. Dia yang mengajarkanku akan ketabahan.
Aldi yang membuatku sadar. Dulu, aku adalah sosok yang egois, semena-mena dan selalu mengeluh. Kini, Aldi telah menyadarkanku ku bahwa aku harus berubah. Berubah menjadi sosok yang patut ditiru bagi adikku.
Shilla pun begitu, kini dia tidak sombong seperti dulu. Dia juga sudah tidak suka menghambur-hamburkan uangnya lagi. Karena, Aldi.
Seharusnya aku malu, karena adikku yang telah mengajariku. Bukan aku yang mengajarinya.
Shilla pun begitu, kini dia tidak sombong seperti dulu. Dia juga sudah tidak suka menghambur-hamburkan uangnya lagi. Karena, Aldi.
Seharusnya aku malu, karena adikku yang telah mengajariku. Bukan aku yang mengajarinya.
0 komentar:
Posting Komentar