Bau harum nasi goreng buatan Bunda tercium sampai ke dalam kamarku yang cukup besar. Dengan cekatan aku memakai seragam sekolahku yang berwarna putih abu-abu. Aku membuka pintu dan kulihat Ayah, Bunda dan dek Oik sudah ada di meja makan tetapi mereka belum makan karena menungguku untuk makan bersama.
Aku duduk disebelah sebelah Oik. Kita saling bertatapan lalu segera berlomba mengambil nasi goreng buatan Bunda yang bagiku adalah nasi goreng paling lezat. Bunda langsung mengambil piring yang aku dan Oik bawa. Bunda mengambilkan nasi goreng untukku kemudian Oik, ia membaginya sama rata.
Selesai sarapan, aku dan Oik berpamitan dengan Ayah dan Bunda. Aku dan Oik berangkat bersama ke sekolah, SMA Idola. Cukup dengan berjalan kaki untuk mencapai sekolahku, karena jarak yang cukup dekat.
Disekolah…
Aku dan Oik datang 7 menit sebelum bel masuk berbunyi. Aku dan Oik berpisah saat Oik memasuki kelasnya. Aku pun melanjutkan langkah kakiku yang menggema di lantai putih bersih di sekolahku. Aku masuk ke kelasku, pas saat bel berbunyi memanggil murid-murid untuk duduk rapi ditempat duduknya masing-masing dan kemudian guru-guru datang untuk mengajar sesuai dengan pelajaran yang akan diajarkannya.
Aku duduk dipojok belakang kanan dilihat dari depan. Karena murid dikelasku ganjil karena ada murid yang pindah sekolah, aku duduk hanya sendirian, uhh membosankan!
Pak Duta masuk ke kelas yang kemudian hening. Semua mata yang ada dikelasku tertuju pada sosok yang datang bersama Pak Duta. Kemudian Pak Duta mengatakan bahwa hari ini sekolahku kedatangan murid baru dan murid itu ditempatkan di kelasku. Pak Duta menyuruh anak itu untuk memperkenalkan diri.
“hi guys! Namaku Alvin, lengkapnya Alvin Jonathan. Pindahan dari SMA Bintang di Semarang. Thanks.” Begitu katanya yang disahuti dengan sorak siswi-siswi di kelasku “oohhh namanya Alvin.”
Aku tertawa pelan saat Agni yang duduk didepanku yang sedang memperhatikan Alvin, dicubit pipinya oleh Riko, pacarnya. Agni pun berteriak kesakitan dan manyun. Riko berkata, “nggak boleh ganjen oke!” hahaha… Agni memang terkenal centil. Entah kenapa Riko mau dengannya.
Aku menoleh saat Pak Duta menyebut namaku. Kukira dia akan memarahiku karena senyam-senyum melihat tingkah laku dua sejoli Riko dan Agni dan tidak mendengar apa yang dikatakan Pak Duta. Alvin langsung menghampiri bangkuku dengan tas hitam yang digendongnya. Ohh, jadi tadi Pak Duta menyuruh Alvin untuk duduk disebelahku. Alvin tidak menghiraukanku. Aku menatapnya dengan memajukan kepalaku. Dia menatapku sekilas dan aku tersenyum.
Saat mellihatnya pertama kali, aku sudah merasa bahwa aku pernah melihat Alvin sebelumnya. Atau hanya perasaanku saja?
Saat di kantin bersama Angel, bayangan Alvin terus ada dibenakku apalagi senyumannya. Aku yakin bahwa aku sudah pernah melihat atau bahkan mengenal Alvin. Tapi dimana dan kapan? Ahh, aku sungguh pelupa!
Angel membuyarkan lamunanku dan dia mengejekku dengan berkata, “hayoo ngalamunin Alvin yaa?” aku tidak melawan karena itu benar dan entah mengapa saat itu pipiku menjadi merah. Jatuh cinta pada pandangan pertama? Oo tidak mungkin.
Sepulang sekolah, aku mencari-cari Nintendo-ku di meja, kasur atau tempat lainnya di kamarku. Tetapi tetap saja tidak ketemu. Aku baru ingat kalau Nintendo-ku sedang dipinjam oleh Oik, dasar Via pelupa!
Aku berjalan menuju kamar Oik yang bersebelahan dengan kamarku. Kulihat Oik sedang belajar dimeja belajarnya. Oik menatapku dengan wajah yang sepertinya marah.
“kak, liat nggak sih tanda didepan pintu?!” aku melihat depan pintu kamar Oik yang terpajang tulisan “lagi banyak PR trus besok ulangan. Nggak boleh ada yang ganggu!”
“cuma mau ngambil Nintendo. Mana?”
Dia mengambil Nintendo DS berbentuk persegi panjang berwarna putih yang terletak di kasurnya. Lalu dia menyerahkan kepadaku. Aku langsung keluar dan menutup pintu Oik dengan kencang. Terdengar suara Oik marah-marah. Aku tidak menghiraukannya.
Mataku langsung tertuju pada pada foto yang terpajang dipintu Oik. Tiga orang anak kecil yang sedang tersenyum bahagia dengan membawa mainannya masing-masing. 1 laki-laki dan 2 gadis cilik. Salah satunya memakai gaun yang indah dan lucu berwarna pink, sedangkan gadis satunya memakai gaun berwarna merah yang tak kalah cantiknya. Laki-laki itu berada ditengah antara kedua gadis cilik itu. Mereka seumuran. Foto itu diambil ketika Oik ulang tahun.
Dan ingatanku meluncur ke bayangan wajah Alvin. Kini aku mengingatnya! Alvin adalan sosok yang sering kusebut Apin saat aku masih berumur 5 tahun. Walaupun sudah 12 tahun lamanya tidak bertemu, tetapi aku yakin Alvin adalah Apin. Aku ingat betul senyuman dan mata Alvin.
Langsung kubuka lagi pintu kamar Oik. Oik yang latah langsung berkata rumus matematika yang mungkin sedang ia pelajari. Oik marah-marah tetapi aku hanya tertawa. Aku menceritakan tentang Alvin. Oik juga terkejut dan tidak percaya. Alvin, anak laki-laki yang telah terpisah dengan aku dan Oik 12 tahun yang lalu karena Alvin yang pindah ke Semarang untuk ikut Ayahnya yang telah bercerai dengan Bundanya, kini datang kembali di kehidupan kita.
***
Semangatku berkibar untuk masuk ke sekolah dan bertemu dengan Alvin. Oik pun demikian. Setelah di sekolah, Oik tidak langsung masuk ke kelasnya tetapi mengikutiku untuk bertemu Alvin di kelasku.
Begitu aku dan Oik masuk, mata kita langsung tertuju pada Alvin. Dan spontan aku dan Oik langsung menghampiri Alvin dan memeluknya. Oik berteriak, “kak Alvin! Aku kangen!” semua murid yang ada di kelasku cengo dengan tingkah lakuku dan Oik. Akhirnya aku tersadar dan melepaskan pelukanku dengan Alvin. Alvin kelihatan lemas karena dipeluk erat oleh aku dan Oik. Ia juga sama cengonya dengan yang melihatku dan Oik didalam kelas itu.
Aku nyengir lalu menarik pergelangan tangan kiri Alvin untuk keluar dari kelas, Oik mengikutiku.
“Apin…! Inget aku? Pia! Sivia azizah?!” aku meloncat-loncat kegirangan. Oke kali ini aku sangat-sangat lebay.
“Pia? Temen waktu kecil dulu itu?” Alvin ikut kegirangan.
“iya kak. Aku Oik!” Oik langsung memeluk Alvin ‘lagi’
Saat istirahat, aku, Oik dan Alvin ke kantin. Kita mengobrol bertiga karena sudah lama tidak berkumpul bertiga seperti ini. Aku dan Oik yang tidak terlalu dekat, kini mulai akrab kembali seperti saat masih kecil dulu.
Sepulang sekolah, Alvin ikut ke rumahku dan aku bilang kepada orangtuaku bahwa laki-laki yang bersamaku itu adalah Alvin teman semasa kecilku dulu.
“Alvin?!”
“iya, Tante,” Alvin tersenyum manis.
“apa kabar kamu? Kenapa nggak pernah kabarin sih?” Bunda langsung memeluk Alvin yang sedari dulu memang sudah dianggapnya seperti anaknya sendiri karena Bundaku dan Bunda Alvin bersahabat sejak dari kecil juga. Dan Ayahku dan Ayah Alvin adalah saudara kembar.
“maaf Tante, Ayah terlalu sibuk jadi nggak sempet ngabarin Om sama Tante. Makanya Alvin nggak betah sama kesibukan Ayah, trus Alvin minta ikut sama Bunda deh.”
“oh begitu. Ya sudah, makan siang dulu bareng Via sama Oik.”
Alvin mengangguk. Kita bertiga duduk dimeja makan dan makan siang bersama. Oik yang cerewet sampai tersedak, aku pun tertawa. Alvin memberi Oik minum.
***
Waktu terus berjalan, hari-hariku selalu dengan Alvin dan Oik. Terkadang aku ingin hanya berdua saja dengan Alvin. Hanya sekedar untuk ke mal, ke café, jogging atau kegiatan lainnya. Aku pun tidak tau mengapa aku ingin menyingkirkan Oik dari kehidupanku. Padahal Oik adalah adikku sendiri yang masih sedarah denganku.
Tanpa diketahui Oik, aku sudah jadian dengan Alvin. Karena aku dan Alvin tau bahwa Oik juga menyukai Alvin. Berat, memang sangat berat menyembunyikan ini semua apalagi jika Oik sudah tau jika aku berpacaran dengan Alvin. Kini keinginanku sudah tercapai. Entah apa yang akan terjadi di kemudian hari.
Shilla, orang yang selalu memusuhiku karena aku dekat dengan Alvin. Mungkin dia cemburu karena dia suka dengan Alvin. Dia selalu mencoba untuk menyingkirkanku dari Alvin. Alvin yang tidak suka dengan Shilla, sering memarahi Shilla. Walau begitu, Shilla tetap saja memusuhiku karena dia sangat ingin mendapatkan cinta Alvin. Untung saja, bukan Agni yang memusuhiku karena dia lebih ganas. Dia selalu bisa mendapatkan apa yang dia mau tetapi dengan semena-mena. Mungkin karena aku dan Agni sudah dekat, jadi dia menjauhi Alvin. Setiap orang pasti ada sisi baiknya dibalik sifat buruknya J
Hingga suatu hari, saat aku sedang bekerjaran dengan Alvin sepulang sekolah saat hujan mengguyur. Shilla menabrakku dengan mobilnya. Shilla pura-pura tidak sengaja dan membawaku ke rumah sakit dengan Alvin.
Di mobil, Shilla terus menatap Alvin yang duduk disampingnya. Sedangkan aku tergeletak lemas dibelakang. Shilla semakin nekat, dia menggenggam tangan Alvin. Alvin risih dan akhirnya memarahi Shilla, “Shil! Dengan keadaan kayak gini kamu masih sempet-sempetnya mau deketin aku! Stop ngelakuin hal bodohmu itu, karena aku udah punya pacar!”
Shilla menelan ludah dan tetap tidak percaya dengan apa yang dikatakan Alvin. Karena aku dan Alvin juga menyembunyikan ini semua dari orang lain, bukan hanya Oik. Akhirnya Alvin menyuruh Shilla untuk menghentikan mobilnya, dia menggendongku dan memilih taksi untuk mengantarku ke rumah sakit. Saat itu Oik tidak ada karena dia sedang mengalami penyakit tipus.
Sesampainya di rumah sakit, aku segera dibawa ke UGD. Dokter menanganiku. Setelah dokter keluar dari ruang UGD, dokter berkata bahwa ia ingin bertemu dengan keluargaku. Akhirnya Alvin menelpon Ayah. Ayah dan Bunda yang khawatir langsung menuju ke rumah sakit sedangkan Oik di rumah dengan pembantu.
Dokter berbicara dengan Ayah dan Bunda. Kemudian Ayah menceritakan apa yang terjadi sebenarnya kepada Alvin. Alvin terpukul dan menangis, mungkin jika aku sedang sadar, inilah tangisan pertama Alvin yang pernah kulihat selain saat waktu kecil dahulu. Aku mengenal Alvin, Alvin kuat dan tegar.
***
Dokter membuka perban putih yang menutupi mataku. Gelap, hanya itu yang dapat kurasakan. Aku shock saat mereka mengatakan bahwa mataku buta. Aku menangis, aku memanggil-manggil nama Alvin. Alvin menyentuh pundakku. “Vin… aku bukan cewek yang baik buat kamu. Aku buta!” tangisku semakin menjadi. “hush, aku tu cinta kamu apa adanya, aku cinta kamu dengan tulus. Mau kamu buta atau sakit apapun aku bakal tetep ada buat kamu.”
Cinta? Mungkin Ayah dan Bunda akan bingung dengan perkataan Alvin barusan.
“kalian pacaran?” Tanya Ayah.
“iya Om. Baru 2 bulan kok Om,” Ayah hanya tersenyum. Juga Bunda.
“Oik?” tanyaku khawatir jika Oik mengetahui semuanya.
“Oik masih sakit. Dia lagi di rumah.”
“emang aku berapa lama sih disini?”
“5 hari.”
***
Hari berganti demi hari, semakin lama aku merasa sepi. Aku tidak sekolah karena aku minder. Aku hanya dirumah, Alvin selalu setia menemaniku. Dan kini Oik sudah tau dengan yang sebenarnya. Mungkin karena ia mengetahui keadaan kakaknya yang seperti ini, jadi ia harus menahan emosinya. Sempat aku mendengar Oik menangis.
Hingga suatu hari, Ayah, Bunda, Alvin dan Oik mengantarku ke rumah sakit. Entah untuk apa, mungkin untuk memeriksakan mataku. Aku memang tidak bisa melihat tetapi aku bisa merasakan kesedihan yang sedang melanda.
Aku berulang kali bertanya pada mereka dengan apa yang terjadi. Tetapi mereka tetap saja mengatakan bahwa tidak ada apa-apa dan semuanya baik-baik saja.
***
Untuk kedua kalinya perban yang menutupi mataku dibuka. Terlihat buram dan kemudian jelas. Aku bisa melihat lagi! Aku mencubit tanganku untuk membuktikan bahwa aku bermimpi atau tidak. Ternyata terasa sakit, ini bukan mimpi!
Aku langsung memeluk Ayah, Bunda dan Alvin. Satu orang yang tidak ada disitu, Oik tidak ada ketika aku dapat melihat lagi.
Bunda menceritakan apa yang terjadi. Oik, adikku, kini telah tiada. Dia mengalami kecelakaan dan keadaannya kritis. Saat Oik sadar, Oik ingin mendonorkan matanya untukku. Ayah, Bunda, Alvin, teman-temannya dan dokter mencegahnya, tetapi Oik tetap bersikeras untuk membuatku dapat melihat kembali.
Dan kini mata yang kugunakan adalah mata milik Oik. Mata yang memancarkan kebaikan. Mata yang memancarkan ketulusan. Dan mata yang memancarkan kasih sayang. Kini aku baru sadar bahwa Oik sangat sayang dengan kakaknya. Dulu aku sangat ingin menyingkirkan Oik, tetapi kini aku menyesal telah berpikir seperti itu. Aku ingin semuanya kembali seperti dulu, saat-saat bahagiaku bersama-sama dengan keluargaku dan Alvin. Tetapi apa daya, nasi telah menjadi bubur. Semuanya sudah direncanakan oleh-Nya. Oik… maafkan atas keegoisan kakak. Dan terima kasih untuk kebahagiaan yang telah kamu berikan untuk kakak. Kak Via, Alvin, Ayah, Bunda dan temen-temen Oik sayang sama Oik…
0 komentar:
Posting Komentar